Pilpres 2019: Tahu Versus Tempe
KABARINDOnews - Masa pendaftaran Capres/Cawapres
sudah 16 hari berlalu. Namun hinggi kini Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)
Ulama belum memutuskan bakal mendukung
pasangan calon Presiden/Wapres Prabowo-Sandi (PAS). Padahal, Ijtima Ulama yang
diselenggarakan GNPF-Ulama merekomendasikan Cawapres Prabowo dengan dua
Cawapres Salim Segaf atau Ustad Abdul Shomad. Padahal ummat sangat
menunggu-nunggu pernyataan organisasi yang dianggap memayungi unsur-unsur
pegiat aksi bela Islam yang berjilid-jilid.
Di sisi lain, realitas di
lapangan menunjukkan adanya sikap tidak sabar dari sebagian ummat Islam dan
sejumlah tokoh. Hal ini antara lain diwujudkan dengan adanya
deklarasi-deklarasi dukungan terhadap paslon Prabowo-Sandi. Mereka merasa bisa
menyandarkan harapan adanya perubahan yang lebih baik kepada pasangan ini dalam
kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.
Sikap serupa dengan GNPF-Ulama
juga ditunjukkan tokoh nasional Rizal Ramli. Lelaki yang dikenal gigih mengusung
ekonomi konstitusi ini, hingga kini juga belum menentukan dukungan terhadap
salah satu Paslon Capres dan Cawapres yang akan berlaga di 2019. Padahal, Sandi
dan sejumlah elit Gerindra berkali-kali menyatakan sangat kepincut dengan Rizal
Ramli. Mereka berharap tokoh yang dekat dengan kalangan grass root itu
mau bergabung sebagai tim sukses. Sebagian lain bahkan menyebutnya layak
menjadi ketua Timses Prabowo-Sandi.
‘Cek kosong’
Baik GNPF-Ulama maupun Rizal
Ramli ternyata punya alasan yang sama. Mereka tidak mau memberi ‘cek kosong’
kepada Paslon tertentu. Buat keduanaya, harus ada komitmen yang jelas dan tegas
dari Paslon sebelum memperoleh dukungan.
Ketua GNPF-Ulama ustadz Yusuf
Muhammad Martak, misalnya, jelas-jelas menghendaki Prabowo-Sandi menandatangani
komitmen yang disebutnya sebagai Pakta Integritas. Kalau mereka setuju, maka
GNPF-Ulama menjanjikan dukungan penuh dari ummat untuk pemenangan PAS.
Disebut dukungan penuh, karena
GNPF-Ulama bersama ummat akan menyiapkan logistik, saksi-saksi, dan Posko-posko
pemenangan secara massif sampai ke tingkat RT/RW. Semua biayanya berasal dari
kantong ummat secara swadana dan gotong-royong alias gratis, sama sekali tidak
perlu gerojokan dana dari PAS. Penegasan ini pula yang disampaikan Habib Rizieq
Shihab dari Mekah saat memberi sambutan pada pembukaa Ijtima’ Ulama, 29 Juli
silam.
Dalam berbagai pernyataan yang
suaranya direkam dan menjadi viral, Habib juga minta ummat bersabar menunggu
digelarnya Ijtima’ Ulama 2. Di forum yang akan diselenggarakan satu hari antara
8-15 September inilah akan ditentukan sikap ulama terhadap PAS.
“Kami sudah menyiapkan Pakta
Intergitas berisi sejumah tuntutan dan harapan ummat Islam yang harus disetujui
PAS sebelum memperoleh dukungan. Kalau Prabowo-Sandi menolak Pakta Integritas,
maka GNPF-Ulama akan berlepas diri dari keduanya. Silakan ummat dan ulama
menentukan pilihan masing-masing,” ujarnya.
Rakyat dapat apa?
Bagaimana dengan Rizal Ramli?
Pada prinsipnya sama saja dengan GNPF-Ulama. Menurut mantan anggota tim panel
ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, soal dukungnnya kepada salah
satu Paslon itu perkara gampang. Yang penting, lanjut dia, rakyat dapat apa
atas dukungan yang diberikan.
Selama ini rakyat sudah terlalu
menderita. Presiden datang dan pergi silih berganti. Namun keberpihakan mereka
kepada rakyat hanya sebatas jargon saat kampanye. Setelah berkuasa, mereka lupa
dengan janji-janjinya. Penguasa hanya sibuk melayani para majikan yang menjadi
bohirnya. Mereka membayar utang dengan berbagai
kebijakan yang menguntungkan para sponsor tapi merugikan negara dan
rakyat Indonesia.
“Mohon maaf, saya menilai
Capres/Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal
rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalaua ada Paslon
yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk
menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out,”
ungkapnya.
Bagi Rizal Ramli, ukuran paling
gampang dari komitme Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib
dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah
diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi
negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya
menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.
“Saya banyak berkeliling ke
daerah. Saya juga sering didatangi rakyat. Ada petani, petambak garam,
pengusaha UMKM, mahasiswa, buruh, aktivis, bahkan ibu-ibu. Semuanya mengeluh
hidup makin susah. Pertanyaan saya kepada mereka sederhana saja. Apakah dalam
empat tahun ini hidup menjadi mudah. Apakah rakyat yakin 5-6 tahun ke depan
hidup akan lebih mudah? Ternyata jawabnya kompak, tidak. Nah, kita harus ubah
semua ini. Salah satu yang paling penting, tinggalkan neolib,” tukas Rizal
Ramli.
Sampai titik ini, tamsil tahu
versus tempe yang disebut Rizal Ramli benar adanya. Kedua Paslon nyaris tidak
menawarkan menu baru. Kalau Jokowi diibaratkan tempe, maka yang dirasakan
rakyat dalam empat tahun terakhir justru bak dipaksa makan tempe bongkrek.
Masih ingat tempe bongkrek? Tempe bongkrek terkenal di masa Orde Baru pada
1970an. Jenis tempe yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas kelapa ini sangat
populer di Jawa Tengah khususnya di daerah Banyumas. Sayangnya, tempe ini
seringkali menyebabkan keracunan karena terkontaminasi bakteri burkholderia
galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin. Berkali-kali rakyat di
pedesaan tewas karena mengkonsumi. Karena sering menyebabkan korban jiwa, Pemerintah
akhirnya melarang penjualan tempe jenis ini.
Nah, empat tahun di masa Jokowi
rakyat banyak ‘keracunan tempe bongkrek’ karena beratnya beban hidup.
Harga-harga melambung tinggi. Listrik, BBM, gas terus meloanjak harganya karena
pengurangan subsidi. Porsi anggaran terbesar justru diutamakan untuk membayar
utang. Lapangan kerja sulit didapat, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke
atas, dan seabreg kesulitan hidup lain.
Bagi kalangan Islam, ‘tempe
bongkrek’ terasa lebih mematikan. Para habaib, ulama, dan ustadz banyak
dikriminalisasi. Perlakuan dan penegakan hukum antara muslim dan nonmuslim terasa
sangat timpang, dan sejumlah ketidakadilan lainnya yang ummat rasakan
Otoriter?
Berbagai kenyataan yang dialami
ummat Islam khususnya dan rakyat secara umum inilah yang melahirkkan
ketidakpuasan. Kian lama perasaan ini kian meluas. Ini pula yang menjelaskan
mengapa gerakan #2019GantiPresiden begitu disambut antusias di semua daerah
tempat. Deklarasikannya selalu dihadiri ribuan bahkan puluhan ribu massa.
Sayangnya, Pemerintah dan atau
para pendukung Jokowi justru melakukan banyak blunder. Dengan dalih
adanya penolakan dari sebagain kalangan, aparat melarang bahkan membubarkan
acara-acara deklarasi. Lebih disayangkan lagi, sampai kini tidak ada sepatah
pun kata dari Jokowi tentang persekusi dan intimidasi dari kelompok tertentu
dan aparat kepada para peserta dan aktivis #2019GantiPresiden. Padahal, bisa
dipastikan Jokowi tahu betul, bahwa dalam konteks demokrasi gerakan ini sah dan
konstitusional.
Akibatnya, sikap diam Jokowi
atas rentetan peristiwa ini diterjemahkan oleh banyak kalangan sebagai
pembiaran terjadinya ketidakadilan. Pasalnya, acara serupa yang bertajuk
mendukung jabatannya 2 periode bukan saja diizinkan, tapi sekaligus dihadiri
Presiden. Acara digelar secara mewah dan wah menghabiskan anggaran belasan miliar rupiah. Kalau ada
kelompok boleh menyatakan aspirasinya untuk mendukung 2 periode, mengapa pihak
yang ingin ganti Presiden tidak boleh?
Sikap diam Jokowi ini pula yang
disesalkan Rizal Ramli. Dalam cuitannya di @RamliRizal, dia menulis, “Mas @jokowi,
melarang diskusi-diskusi dan gerakan-gerakan aspirasi publik adalah “kampanye”
terburuk untuk mas @jokowi. Kami dan banyak kawan-kawan melawan sikap-sikap
otoriter, bahkan sampai dipenjara 1,5 tahun. Jangan tarik mundur demokrasi. You
are in power, tolong pakai cara-cara elegan.”
So, buat para Capres/Cawapres yang berlaga tahun depan,
mau dapat dukungan dan suara rakyat? Jangan beri rakyat tahu atau tempe lagi!
Jakarta, 26 Agustus 2018
Edy
Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies
(CEDeS)
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :