DIMANAKAH PEMBELAAN SEBUAH NEGARA ?
Oleh : Amalia Hening Asnuriatina
Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam
KABARINDOnews - Kehidupan berbangsa dan bernegara sudah ditanamkan dan diajarkan sejak anak-anak pertiwi memasuki sekolah bangku dasar. Pemahaman akan keharusan untuk membela sekaligus mencintai negaranya bahkan sudah terpatri di dalam tiap-tiap hati pemuda-pemudi Indonesia.
karena apa ? Karena pada dasarnya mereka lahir dan tumbuh besar di Indonesia.
Katakanlah, ada beberapa warga Indonesia yang hanya ‘menumpang’ lahir kemudian tinggal di negara lain, namun mereka tetap mengakui Indonesia sebagai tanah kelahiran mereka.
Jika kita urai secara umum, maka sikap Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara.
Tapi, apakah kecintaan dan sikap bela negara kita pada tanah pertiwi ini setimpal dengan pembelaan mereka terhadap rakyatnya ??
Kepada para veteran pejuang kemerdekaan ?
Kepada para buruh ?
Kepada wartawan sejati yang menjunjung nilai berita kebenaran ?
Kepada para pejuang HAM ?
Kepada rakyat kecil yang tak mampu lagi meneriakkan kata lapar ?
lalu,.. apa kabar para koruptor yang menggesek milyaran rupiah uang rakyat demi kepuasan nafsunya sendiri ?
bagaimana kabar mahasiswa-mahas iswa yang hilang di era
orde baru ?
siapa yang sedang negara bela ?
siapa yang sedang diadili ?
siapa yang pantas untuk negara ini bela ?
Mereka ? atau kita ?
Lalu, apakah mereka lupa atau hanya bisa bungkam dengan kasus-kasus lama yang tak kunjung usai. Ingat kasus kematian Munir ? Seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia
Indonesia Imparsial. 13 tahun berlalu, kematiannya masih menyimpan sejumlah
misteri, beliau diracun di pesawat yang membawanya dari Singapura menuju
Amsterdam. meskipun Pollycarpus Budiharto Priyanto menjadi pelaku pembunuhan
Munir Said Thalib, tetapi otak kejahatan kasus pembunuhan Munir belum terungkap
dan mungkin saja masih berkeliaran di bumi pertiwi ini.
Tragedi hilang dan terbunuhnya Marsinah pun mungkin sudah asing di telinga mahasiswa masa kini. Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan Orde Baru, bekerja pada PT. Catur Putra Surya Porong, Jawa Timur. Ia ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Marsinah dibunuh diduga karena memicu aksi unjuk rasa besar-besaran buruh yang menuntut kenaikan upah.
Berikut memang kasus-kasus nestapa lama. Tapi Mengapa keadilan yang mereka tuntut selama belasan tahun belum juga terselesaikan ? mengapa pemerintah tidak dapat menuntaskan dan menangkap dalang dibalik kematian-kemati an pejuang negara, para
pejuang aspirasi rakyat?
Jika kita cukupkan perihal menolak lupa kematian Munir atau Marsinah, apakah negara ini sudah bebas dari pembelaannya ?
tentu saja tidak. Karena kasus-kasus sepanjang periode ini juga cukup banyak, seperti penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan kematian saksi kunci penyelewengan dana e-KTP, Johannes Marliem. Siapa yang bertanggungjawa b atas peristiwa ini ?
siapa yang sedang dibela dan dilindungi ?
Kemerdekaan negara Indoesia ini tak lepas dari peran para alim ulama dan pahlawan-pahlaw an baik dari
deretan militer hingga tokoh-tokoh pemuka di setiap daerahnya. Mereka berjuang
dengan segala daya upaya sekaligus melancarkan strategi-strate gi jitu guna mengusir para penjajah.
Lihat, bagaimana nasib para pahlawan veteran setelah puluhan tahun negeri ini dikatakan telah merdeka, Banyak dari mereka yang di masa tuanya terlunta-lunta bahkan menjadi pengemis. Sebut saja kakek Anwar. Almarhum adalah Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, dengan pangkat Letnan Satu. Pemimpin yang mahir empat bahasa; Inggris, Jepang, Belanda dan tentu saja Bahasa Indonesia.
Namun, sampai akhir hayatnya pada 12 April 2011 ia hidup sebatang kara tanpa lencana penghormatan, tanpa tanda jasa. Tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya seakan dilupakan bahkan gelar veteran pun tak ada.
Presiden Soekarno sering mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Sudahkan negeri ini menghargai dan membela para veteran ? Sedangkan tanpa mereka, tidak ada kata ‘merdeka’ untuk Indonesia.
--------------- --------------- --------------- --------------- --------------- ---
Tulisan berikut merupakan tanggapan atas tulisan Dr. Ahmad Sastra, yang berjudul MELURUSKAN PEMAHAMAN BELA NEGARA dalam rangka tugas mata kuliah E-Learning Dakwah
Dosen sekaligus Ketua Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia
Aktivis Muslim ’98
[Putra Nusantara/KIN]
Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam
KABARINDOnews - Kehidupan berbangsa dan bernegara sudah ditanamkan dan diajarkan sejak anak-anak pertiwi memasuki sekolah bangku dasar. Pemahaman akan keharusan untuk membela sekaligus mencintai negaranya bahkan sudah terpatri di dalam tiap-tiap hati pemuda-pemudi Indonesia.
karena apa ? Karena pada dasarnya mereka lahir dan tumbuh besar di Indonesia.
Katakanlah, ada beberapa warga Indonesia yang hanya ‘menumpang’ lahir kemudian tinggal di negara lain, namun mereka tetap mengakui Indonesia sebagai tanah kelahiran mereka.
Jika kita urai secara umum, maka sikap Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara.
Tapi, apakah kecintaan dan sikap bela negara kita pada tanah pertiwi ini setimpal dengan pembelaan mereka terhadap rakyatnya ??
Kepada para veteran pejuang kemerdekaan ?
Kepada para buruh ?
Kepada wartawan sejati yang menjunjung nilai berita kebenaran ?
Kepada para pejuang HAM ?
Kepada rakyat kecil yang tak mampu lagi meneriakkan kata lapar ?
lalu,.. apa kabar para koruptor yang menggesek milyaran rupiah uang rakyat demi kepuasan nafsunya sendiri ?
bagaimana kabar mahasiswa-mahas
siapa yang sedang negara bela ?
siapa yang sedang diadili ?
siapa yang pantas untuk negara ini bela ?
Mereka ? atau kita ?
Lalu, apakah mereka lupa atau hanya bisa bungkam dengan kasus-kasus lama yang tak kunjung usai. Ingat kasus kematian Munir ? Seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia.
Tragedi hilang dan terbunuhnya Marsinah pun mungkin sudah asing di telinga mahasiswa masa kini. Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan Orde Baru, bekerja pada PT. Catur Putra Surya Porong, Jawa Timur. Ia ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Marsinah dibunuh diduga karena memicu aksi unjuk rasa besar-besaran buruh yang menuntut kenaikan upah.
Berikut memang kasus-kasus nestapa lama. Tapi Mengapa keadilan yang mereka tuntut selama belasan tahun belum juga terselesaikan ? mengapa pemerintah tidak dapat menuntaskan dan menangkap dalang dibalik kematian-kemati
Jika kita cukupkan perihal menolak lupa kematian Munir atau Marsinah, apakah negara ini sudah bebas dari pembelaannya ?
tentu saja tidak. Karena kasus-kasus sepanjang periode ini juga cukup banyak, seperti penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan kematian saksi kunci penyelewengan dana e-KTP, Johannes Marliem. Siapa yang bertanggungjawa
Kemerdekaan negara Indoesia ini tak lepas dari peran para alim ulama dan pahlawan-pahlaw
Lihat, bagaimana nasib para pahlawan veteran setelah puluhan tahun negeri ini dikatakan telah merdeka, Banyak dari mereka yang di masa tuanya terlunta-lunta bahkan menjadi pengemis. Sebut saja kakek Anwar. Almarhum adalah Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, dengan pangkat Letnan Satu. Pemimpin yang mahir empat bahasa; Inggris, Jepang, Belanda dan tentu saja Bahasa Indonesia.
Namun, sampai akhir hayatnya pada 12 April 2011 ia hidup sebatang kara tanpa lencana penghormatan, tanpa tanda jasa. Tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya seakan dilupakan bahkan gelar veteran pun tak ada.
Presiden Soekarno sering mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Sudahkan negeri ini menghargai dan membela para veteran ? Sedangkan tanpa mereka, tidak ada kata ‘merdeka’ untuk Indonesia.
---------------
Tulisan berikut merupakan tanggapan atas tulisan Dr. Ahmad Sastra, yang berjudul MELURUSKAN PEMAHAMAN BELA NEGARA dalam rangka tugas mata kuliah E-Learning Dakwah
Dosen sekaligus Ketua Divisi Riset dan Literasi Forum Doktor Islam Indonesia
Aktivis Muslim ’98
[Putra Nusantara/KIN]
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :