Bila Fatwa Ulama Diabaikan Penguasa
KABARINDO - Sekarang-sekarang ini, kita sedang menunggu
hasil gelar perkara Ahok terkait kasus penistaan agama. Memang, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) sudah menyatakan Ahok menista Al-Qur’an dan Ulama, tapi itu rupanya
tidak menjamin aparat penegak hukum memutuskan Ahok melanggar pasal penistaan
agama. Aparat tampaknya sangat berhati-hati dalam kasus Ahok ini, untuk tidak
mengatakan lamban dan ragu dengan sikap MUI.
Perlu kita ketahui, MUI ada, karena tumbuhnya
rasa saling percaya dan membutuhkan di antara pemerintah dan Ulama kala itu.
Sebelumnya, ada jarak di antara keduanya. Bila di masa revolusi, mereka bahu
membahu memperjuangkan kemerdekaan, namun 30 tahun setelah Indonesia merdeka, mereka
makin lama makin berjauhan. Pemerintah menganggap Ulama sebagai batu penghalang
pembangunan, kecuali yang mau “membantu”. Ulama diharuskan menyokong segala
program pemerintah. Tak boleh dibantah. Meski menurut keyakinan Ulama, program
itu bertentangan dengan Islam.
Diperlakukan begitu, kalangan Ulama tak tunduk.
Mereka teringat akan hadits Nabi, “Ulama
yang mendekati penguasa, dicemburui ketulusan agamanya. Lebih baik menjauh demi
keselamatan agamamu.” Ulama yang muda-muda tetap mengkritik pemerintah
melalui tabligh-tabligh dan khutbah Jum’at. Kritik mereka pun sampai ke telinga
pemerintah. Sampai pemerintah merasa perlu mengirim banyak intel. “Kadang-kadang, supaya laporan berisi, kata
sejengkal direntang dijadikan sehasta. Kata sehasta dirunyut dijadikan sedepa,”
ungkap Buya Hamka.
Satu waktu, di kalangan Ulama menimbang, kalau mengkritik
pemerintah di tabligh-tabligh saja atau di khutbah Jum’at saja, lebih banyak ruginya ketimbang
untungnya. Orang yang dikritik itu tidak insyaf. Malah timbul hawa nafsunya menjaga
gengsi. Mengkritik dari jauh hanya akan menambah jauh.
Di kalangan pemerintah menimbang pula. Mereka
menyadari kesalahan siasat selama ini yang menjadikan Ulama sebagai alat
politik pembujuk rakyat. Sebab rakyat sudah bosan dengan itu dan tak lagi
bodoh. Makin lama pemerintah makin merasakan betapa perlunya Ulama-Ulama
mendampingi dan menasihatinya. Sebab banyak hal yang menyangkut agama yang
tidak diketahuinya, yang dapat menyinggung perasaan umat Islam. Kini, bagi pemerintah,
pembangunan tak semata materi, tapi juga rohani. Karena itu pemerintah membentuk
Majelis Ulama. Diajaklah Ulama bergabung di dalamnya. Ulama yang merasa lebih
baik tidak menjauh tadi, setelah mendengar ajakan pemerintah itu, lalu
menerimanya (Hamka, Panji Masyarakat 1/8/1975,
15/9/1975).
Setelah Majelis Ulama berdiri, Majelis Ulama di
tiap-tiap propinsi, kabupaten, sampai kecamatan mengadakan Musyawarah Nasional
(Munas), yang dihadiri oleh empat orang Ulama dari tiap-tiap propinsi,
wakil-wakil dari Organisasi Islam dan Ulama-Ulama terkemuka. Munas diadakan di
Jakarta dari tanggal 21-26 Juli 1975. Tujuan utamanya mendirikan Majelis Ulama
Indonesia Pusat.
Pada Munas itu, Presiden Soeharto membukanya
dengan “Bismillahirrahmanirrahim”.
Dalam pengarahannya, beliau menginginkan Ulama turut andil dalam pembangunan
sesuai dengan bidangnya. Karena bagi beliau, pembangunan bukan semata-mata
materi, tapi juga rohani. Beliau menambahkan, sebagai bangsa, kemerdekan kita
sangat bergantung pada kemerdekaan jiwa dengan iman dan takwa kepada Allah,
ketimbang pengaruh lain. Maka, lanjutnya, sangatlah besar harapan umat, khususnya
yang beragama Islam, kepada Ulamanya untuk amar
ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar) serta
tidak merasa bimbang dan takut di dalam menegakkan kebenaran.
Beliau juga mengungkapkan, kesadaran hidup beragama,
keteguhan iman dan takwa, menyebabkan kita berlapang dada menghadapi penduduk
yang agamanya berbeda. Sebab, lanjutnya, agama Islam mengajarkan dua hal
penting dalam Al-Qur’an: la ikraha fiddin
(tidak ada paksaan dalam agama) dan lakum
dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku).
Dan beliau menegaskan, Majelis Ulama akan
memberikan nasihatnya kepada pemerintah baik diminta ataupun tidak (Hamka, Panji Masyarakat, 1/8/1975).
“Karena demikian besar peranan Alim Ulama dalam pembangunan
masyarakat, maka saya menganggap sangat tepat adanya Majelis Ulama yang segera
akan dibentuk oleh Ulama ini,” ungkap Presiden Soeharto (Pelita, 22/7/1975).
Dalam Munas, Menhankam, Jenderal TNI Maraden
Panggabean, juga menyampaikan pandangannya. Menurutnya, ”Kaum Ulama telah memberikan sahamnya yang sangat besar bagi
pengisian arti kemerdekaan serta unsur yang turut serta dalam merealisasikan
Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan memperkuat ketahanan
spirituil dalam menghadapi ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.”
(Pelita, 23/7/1975).
Buya Hamka sendiri ketika itu berpidato. Ia memberikan gambaran
bagaimana posisi ulama di masyarakat. “Kami ini bagaikan kue bika,
dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat. (Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka, 1981)
Munas yang pertama ini telah mempertemukan Ulama-Ulama
dari berbagai Ormas Islam seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Ar-Rabithatul Alawiyah, dan
Aljam-iyatul Washliyah. Semuanya bersatu dalam cinta kepada agama dan bangsa.
Munas berhasil membentuk pengurus Majelis Ulama
Indonesia, yang dilantik oleh Menteri Agama, Mukti Ali. Dewan pimpinannya
terdiri dari Ketua Umum, Prof.Dr.Hamka dan Ketua-Ketua, KH.Abdullah Syafiie,
KH. Syukri Ghozali, KH. Habib Muhammad Al-Habsyi, KH. Hasan Basri, dan
H.Soedirman
Munas diakhiri dengan penandatanganan piagam berdirinya
MUI tertanggal 26 Juli 1975. Secara berurutan 26 Ketua Delegasi Majelis Ulama
Daerah Tingkat I membubuhkan tanda tangannya. Masing-masing dimulai dari
Delegasi DKI Jakarta sampai Maluku. Kemudian disusul oleh wakil-wakil Ormas
Islam serta tokoh-tokoh perorangan yang menghadiri Munas tersebut.
Ormas-ormas Islam yang menandatangani Piagam
tersebut adalah NU (diwakili KH.M.Dachlan), Muhammadiyah (Ir.H. Basid Wahid),
Sarikat Islam (H.M.Syafii Wirakusuma), Perti (Nurhasan Ibnu Hajar),
Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, Al-Ittihadijah, GUPPI, PTDI, dan Dewan Masjid.
Tokoh-tokoh Islam yang membubuhkan tanda tangan
ialah Prof.Dr.Hamka, KH. Safari, KH. Abdullah Syafii, Mr.Kasman Singodimedjo,
KH.Hasan Basri, Tgk.H.Abdullah Ujong
Rimba, H. Kudratullah dan lain-lain. Turut pula menandatangani piagam tersebut dinas-dinas
rohani ABRI, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan
Udara, dan Disrohis Polri.
Dalam pedoman pokok MUI, ada lima fungsi MUI:
1. Memberi
fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar dalam usaha
meningkatkan Ketahanan Nasional.
2. Memperkuat
ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama. dalam
mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
3. Mewakili
umat Islam dalam Badan Konsultasi Antar Umat Beragama.
4. Penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional.
5. Majelis
Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasionil (Pelita, 28/7/1975).
Dari sejarah berdirinya MUI ini, kita bisa
saksikan bahwa sebetulnya pemerintah mempercayakan sepenuhnya persoalan agama
kepada MUI. Namun dalam perjalanannya, pemerintah tidak selalu menerima fatwa
MUI. Contohnya fatwa haram bagi umat Islam merayakan natal bersama. Kala itu,
Menteri Agama, Alamsyah, meminta fatwa tersebut dicabut. Tapi dengan tegas Hamka
menolak dan memilih meletakkan jabatannya. Setalah pemerintah menolak fatwa
itu, apakah MUI kehilangan kepercayaan umat? Faktanya umat tetap mengikuti
fatwa itu. Umat tetap percaya Ulama. Pemerintah lah yang justru tak laku.
Jadi kalau pemerintah sekarang membela Ahok dan
tidak mengikuti sikap MUI yang kedudukannya lebih tinggi dari fatwa, mereka
memang berharap umat meninggalkannya.
Sebagai penutup, sebuah nasihat dari Ketua Umum
MUI pertama, Buya Hamka, untuk mereka, “Kalau
ada di antara kita yang bertanya apa sanksinya kalau nasehat dan fatwa tidak
digubris oleh penguasa, tidaklah ada undang-undang manusia yang akan menuntut
pemerintah. Sebab pemerintah itu sendiri adalah pemegang undang-undang. Tetapi
jika fatwa itu benar dan jujur, masih juga ditolak, maka pemegang-pemegang
kuasa itu akan dihukum oleh Tuhan sendiri. Kadang-kadang mereka terima kontan
di dunia ini juga. Bertambah mereka tidak percaya akan kekuasaan Tuhan,
bertambah mereka tenggelam ke dalam la’nat ilahi.” (Panji Masyarakat, 1/8/1975).
(Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB)/jejakislam.net)
[Billy.s/IG/KIN]
No comments
Silahkan berkomentar di kolom sini :